Anda pernah mendengar istilah
Assasins? Atau bahkan menonton film “Assassin’s Creed”?. Tahukah Anda
bahwa sesungguhnya Assains adalah kelompok pasukan elit yang dimiliki
Syiah Ismailiyah?. Dan ternyata, pasukan ini pula yang melakukan upaya
pembunuhan terhadap pahlawan Islam pembebas Al Quds, Shalahuddin Al
Ayyubi.
Adalah Prof Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, sejarahwan Islam
kontemporer, melalui buku karyanya, “Shalahuddin al Ayyubi, wa Juhuduhu
fil Qadha’ ala Daulah al Fatimiyah wa Tahriri Baitil Maqdis”, yang
mengungkap dua kali upaya pembunuhan terhadap Shalahudin oleh pasukan
bentukan tokoh Syiah Ismailiyah, Hasan Ash-Shabah.
Munculnya pasukan Assasins, atau dalam istilah
Arabnya “Al-Hasyisyiyah”, tidak terlepas dari keberadaan Dinasti
Fathimiyah (Ubaidiyah) di Mesir.
Seperti ditulis Shalabi, setelah
Sultan Dinasti Ubaidiyah, Al-Mustanshir, meninggal pada tahun 487 H
(1094 M) kelompok Syiah Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan:
An-Nizariyah dan Al-Musta’liyah. Golongan An-Nizariyah meyakini bahwa
putra tertua Al-Muntashir yang bernama Nizar paling berhak menduduki
kursi kepemimpinannya, setelah ayahnya. Kelompok ini dipimpin oleh
Al-Hasan Ash-Shabah di negeri Persia. Pengikut mereka dikenal sebagai
golongan Al-Hasyisyiyah atau Al-Bathiniyah. Sementara golongan
Al-Musta’liyah adalah para pengikut Al-Musta’li, yaitu putera kedua dari
Al-Mustanshir.
Al-Hasan Ash-Shabah sebagai pemimpin sekte
Nizariyah atau Al-Hasyisyiyah, adalah seorang yang tumbuh di negeri
Persia dan mengikuti ajaran Ismailiyah sejak muda. Ia pernah menjadi
tamu kehormatan Al-Mustanshir selama 18 bulan lebih. Mengunjungi Mesir
dan bertemu dengan Al-Mustanshir. Al-Mustanshir memberinya bantuan dana
dan memintanya agar mengajak orang-orang di negeri non Arab agar
mengakui keimamannya.
Secara politik, Hasan Ash-Shabah menetapkan
kedudukan Nizar sebagai penguasa setelah Al-Mustanshir, dan tidak
mengakui kedudukan Al-Musta’li. Lalu ia menyebarkan seruannya tentang
otoritas Nizar dan menganggap dirinya sebagai wakil imam, dalam rangka
mendirikan Dinasti Isma’iliyah yang baru di wilayah Timur dekat.
Hal
itu dilakukan setelah dia tiba di Ishfahan pada tahun 473 H. Ketika
ruang geraknya dipersempit oleh Nizhamul Mulk, ia pun berangkat ke
Qazwin dan berhasil menguasai Benteng Alamut dan menjadikan tempat itu
sebagai pusat aktivitas kelompoknya. Dari sini berkembang seruannya,
para pengikutnya semakin bertambah banyak di seluruh negeri. Dan dari
sini pula operasi pasukan Al-Hasyisyiyah dikendalikan.
Hasan
Ash-Shabah dan para pengikutnya sangat membenci golongan Ahlus Sunnah.
Gerakan Isma’iliyah Al-Bathiniyah terus meluas. Mereka memiliki sejumlah
benteng penting di wilayah Syam, seperti Qadmus, Ulaiqah, Kahf,
Mashyaf, dan lain-lain. Mereka sangat terpukul dengan lenyapnya Dinasti
Ubaidiyah dan tampilnya madzhab Sunni berkuasa di Mesir.
Mereka
merasakan bahaya sedang mengancam sekte Syiah Isma’iliyah di negeri
Syam. Apalagi Nuruddin Mahmud telah membatasi perluasan gerakan mereka
di sebelah Timur negeri itu. Dalam posisi ini, mereka menunjuk
Rasyiduddin bin Sinan Al-Bashri (atau Syaikh Al-Jabal) pada tahun 558 H
untuk menyusup ke wilayah Syam, untuk melakukan konsolidasi kelompok
Syiah Ismailiyah.
Syiah Bathiniyah (Al Hasyiyun) menaruh dendam
kepada Shalahuddin, karena dia telah meruntuhkan Dinasti Fathimiyah
(Ubaidiyah) di Mesir) dan berusaha menyatukan wilayah Syam dengan Mesir.
Gerakan
Shalahuddin merupakan ancaman bagi eksistensi mereka. Maka Rasyiduddin
menjalin kerjasama dengan orang-orang salib dan keluarga Zanki untuk
menghabisi Shalahuddin.
Rasyiduddin adalah pemimpin kelompok
Isma’iliyah dan tokoh durjana mereka. Nama lengkapnya, Sinan bin Salman
bin Muhammad Al-Bashri, Al-Bathini, tokoh penting kelompok Nizariyah. Ia
dikenal mempelajari filsafat dan sejarah umat manusia, memiliki
keberanian, kecerdikan, dan tipu muslihat.
Kelompok Syiah Isma’iliyah telah dua kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap Shalahuddin.
Pertama, Rasyiduddin Sinan menugaskan sejumlah pengikutnya pergi ke kamp pasukan
Shalahuddin dengan menyamar sebagai
prajurit. Penyamaran mereka sempat diketahui oleh seorang Emir bernama
Khamartekin, tetapi tokoh itu cepat-cepat mereka bunuh. Mereka berhasil
menyusup ke kemah Shalahuddin di tengah kamp pasukannya. Saat muncul
kesempatan, salah seorang dari mereka langsung menyerang Shalahuddin,
namun berhasil digagalkan; lalu pelaku penyerangan itu dibunuh sebelum
berhasil melaksanakan niatnya.
Kegagalan ini membuat
kawan-kawannya bertempur mati-matian untuk mempertahankan diri, sebelum
akhirnya mereka semua dibunuh. Rasyiduddin memandang penting operasi
ini, sebab sejak Shalahuddin memasuki negeri Syam, dia telah menjelma
menjadi musuh utama bagi sektenya.
Kedua, pada bulan Dzul Qa’adah
tahun 571 H (Mei 1176 M) Rasyiduddin kembali mengirim sejumlah
pengikutnya dengan menyamar sebagai prajurit. Mereka berhasil memasuki
kamp pasukan Al-Ayyubi saat mengepung Benteng Azaz. Mereka bertempur
langsung bersama tentara Shalahuddin dan berbaur dengannya seraya
menantikan kesempatan untuk menyerang. Selagi pasukan sedang disibukkan
dengan pengepungan benteng, Shalahuddin lewat di dekat kemah Emir
Jadali Al-Asadi untuk memompa semangat prajuritnya. Ketika itulah salah
seorang dari kelompok Isma’iliyah menyerang dan menikamnya dengan
sebilah pisau ke arah kepala.
Alhamdulillah, waktu itu
Shalahuddin mengenakan topi baja, sehingga serangan tersebut tidak
melukainya. Pelaku kemudian mengulangi serangan dan berhasil melukai
pipinya. Tetapi dia berhasil ditangkap Emir Saifuddin Yazakuj dan
dibunuhnya. Lalu orang kedua dari mereka hendak menyerang Shalahuddin;
tetapi ia segera dihadang oleh Dawud bin Mankalan yang berhasil
membunuhnya. Lalu orang ketiga menyerang lagi, tetapi segera dicegat
oleh Emir Ali Abu Al-Fawaris dan ditikam oleh Nashiruddin bin Shirkuh
hingga tewas. Sementara orang keempat berusaha kabur, namun para
prajurit berhasil menangkapnya, lalu membunuhnya.
Setelah
kejadian itu, para prajurit Islam mengalami guncangan. Mereka menyadari
bahwa pengamanan di sekitar Sultan sangat rapuh, sehingga bisa ditembus
para penyusup. Sejak saat itu, Shalahuddin menerapkan penjagaan super
ketat, sampai-sampai ia memasang menara dari kayu di sekeliling
tendanya. Orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya, tidak diperbolehkan
mendekati kemah Sultan.
Makar kaum Syiah Isma’iliyah telah
membuat Shalahuddin menetapkan mereka sebagai target. Dia mengirim surat
ancaman kepada Rasyiduddin Sinan, lalu dibalas dengan surat yang
bernada menantang Shalahuddin.
Pada bulan Muharram tahun 572 H
(Juli tahun 1176 M) Shalahuddin mengepung benteng-benteng Syiah
Isma’iliyah dan memasang sejumlah manjanik besar untuk meruntuhkan
tembok-tembok mereka. Hasilnya, Shalahuddin berhasil menewaskan sejumlah
besar pengikut mereka, menawan mereka, merampas ternak mereka,
menghancurkan rumah-rumah mereka, merobohkan bangunan-bangunan mereka,
menghancurkan tanggul-tanggul perlindungan mereka. Hal ini terus
berjalan, sampai paman Shalahuddin, Syihabuddin Mahmud Takusyi (penguasa
Hamah) memintakan syafaat untuk mereka. Hal itu terjadi setelah kaum
Syiah itu berkali-kali mengirim surat kepada Syihabuddin dan meminta hak
kepadanya sebagai tetangga. Maka Shalahuddin pun meninggalkan mereka,
setelah berhasil menghukum dan melumpuhkan kekuatan mereka.
Kekalahan
ini memaksa kelompok Hasyiyun untuk mengadakan kesepakatan damai dengan
Shalahuddin. Mereka memilih untuk bersikap netral daripada memposisikan
Shalahuddin sebagai musuh.
Setelah kejadian itu, berbagai sumber
sejarah tidak pernah mencatat adanya bentrokan secara langsung antar
Shalahuddin dan pengikut sekte sesat itu.
Menurut Ibnu Al-Atsir,
setelah itu ada kerjasama antara Shalahuddin dengan Rasyiduddin.
Shalahuddin meminta Ibnu Sinan untuk membunuh Richard dan Conrad Marquis
de Montferrat (penguasa Shur/Tyre). Akan tetapi Ibnu Sinan khawatir
Shalahuddin akan berlepas tangan dari musuh-musuhnya, sehingga kelompok
Hasyisyiyah harus menanggung serangan kaum salib sendirian. Mereka hanya
mau melakukan pembunuhan terhadap Conrad dan menolak untuk membunuh
Richard.[UGT]