Ditulis Oleh Bambang Prayitno (Anggota Keluarga Alumni KAMMI)
1. Jadi, kader PKS sedang mengalami euforia simbol. Dulu, yang mengenalkan AK Party dan program-programnya, termasuk berinisiatif membawa tokoh-tokohnya adalah Ustadz Anis Matta dan beberapa koleganya. Justru pemimpin-pemimpin PKS sekarang, dulunya menolak belajar dari Erdogan, karena Erdogan dianggap bukan Ikhwan lagi. Beberapa tokoh tua nan konservatif PKS yang sekarang berkuasa malah lebih prefer ke Saadet Partisi. Barulah setelah Erdogan bisa menguasai dan mulai memakmurkan Turki, kader PKS seperti bangga yang tak pernah habis-habis.
2. Tapi dari sini sekaligus muncul paradoks. Kader PKS sangat mengidolakan AKP dan Erdogan. Membaca dan mengulas beritanya. Membagi seluruh cerita-cerita keberhasilan tentang Turki. Tapi seperti tidak menangkap etape, paradigma baru dan intisari dari nilai yang diperjuangkan Erdogan dan AKP.
a. AKP membangun ijtihad baru soal koalisi politik besar bersama rakyat Turki dan dengan demikian merobohkan sekat-sekat ideologi dan menggantinya dengan memasukkan ‘common interest’ atau ‘nation interest’ sebagai mimpi bersama. Sementara pemimpin PKS sekarang justru sedang berbalik mundur ingin menjauhkan PKS dari langkah besarnya menjadi payung besar kebhinnekaan dan menguatkan sisi revivalisme Islam yang sangat puritan. Pemimpin PKS juga membiarkan kadernya terjebak dalam pertarungan simbol seperti Sunni-Syiah, Liberal dan muslim-non muslim.
b. AKP tidak lagi menjadikan Islam sebagai asas partai dan menarik diri ke medan besar sebagai partai tengah yang nasionalis nan ambisius untuk memimpin bangsa. Sementara agitasi nilai yang sedang didengang-dengungkan PKS sekarang ini seperti mengisyaratkan ketidaksiapannya memimpin negara. Ambisi untuk menjadi partai pemimpin seperti tak ada. Yang menguat justru mengulang-ulang slogan PKS sebagai partai dakwah yang (cukup) hanya mengejar ridho Allah. Ini bukan kesimpulan. Ini kalimat yang selalu diulang-ulang dimana-mana oleh pimpinan PKS.
c. AKP telah memodernisasi organisasi kepartaiannya dengan melakukan langkah-langkah penguatan dalam sistem dan tata kelola organisasi. Sementara dalam pandangan publik, tokoh reformis PKS seperti Anis Matta justru tidak mendapat tempat lagi di PKS. Yang menguat di PKS sekarang ini adalah pemberlakuan sistem oligarkhi-agama yang cenderung tertutup, tak transparan, dan jauh dari rasa keadilan publik. Dengan tidak menganut pola perekrutan kepemimpinan yang lebih modern seperti meritokrasi, PKS telah mundur jauh ke belakang.
d. AKP memajukan program sosial dan kesejahteraan sebagai program dan aksi nyata partai, serta menjauhkan pola-pola pencampuran agama dan indoktrinasi religiusitas dalam agitasi politiknya. Kampanye moralitas tak lagi dianggap menarik, karena orientasi dan kebutuhan mendesak rakyat Turki bernama kesejahteraan telah ditemukan oleh AKP dan Erdogan. Sebaliknya, PKS masih berkutat pada agitasi agama sebagai jubah dan jalan dalam pemenangan politiknya. Imajinasi keberpihkan rakyat kepada PKS tak jauh-jauh dari iming-iming syurga, keberkahan dan nilai moralitas.
Sementara labelisasi dan sandang moralitas dan dakwah yang disandang PKS justru memberatkan langkah PKS karena prasyarat proven dalam moral itu sesungguhnya telah menjadikan PKS terkungkung dalam agitasi yang ia bangun sendiri; terisolasi dari dunia politik yang dilakoni oleh partai lain; dan tak mendapatkan tempat dalam rentang persahabatan para penentu negeri ini.
e. Sebagai konsekuensi dari itu semua, maka para pemimpin AKP tidak lagi membahas lifestyle dan pergaulan sosial politik diantara mereka. Mereka menjadi sangat cair dan mampu diterima oleh semua kalangan secara ‘nature’. Dan kalau kita bayangkan di Indonesia, sosok yang bisa kita bayangkan untuk merepresentasikan nilai keluwesan dalam pergaulan itu tersemat dalam sosok Anis Matta, Fahri Hamzah dan beberapa tokoh tua-muda PKS yang luwes. Yang hari ini gaya dan pikiran terbuka nan inklusif itu dianggap tidak menarik oleh pemimpin PKS sekarang.
Lacurnya, kader PKS mendiamkan semua hal diatas. Padahal, antara mimpi dan obsesi tentang Turki dengan kenyataan yang terjadi pada partainya sekarang ini seperti bertolak belakang dan tidak ‘nyambung’. Kader PKS seolah-seolah sedang dirasuki oleh semangat untuk terbang tinggi dengan segala obsesi kepemimpinannya pada negara, atau melompat dengan seluruh permasalahannya yang sudah selesai, tapi kenyataannya, rumah besar mereka yang bernama PKS, sedang berjalan mundur dan tenggelam, karena tiadanya narasi, mengalami ‘set-back’ dan terancam terisolasi dari elemen-elemen politik dan sosial di Indonesia. Tapi itu seperti tidak disadari oleh kader PKS.
3. Pelajaran dari kudeta Turki itu tentang ‘social enclave’. Ini perlu dipelajari. Istilah ini saya ambil dari salah satu aktivis senior pergerakan Islam. Erdogan dan AKP mampu membangun loyalitas dan kepercayaan tentang dirinya di dalam internal militer dan pemerintahan. Ia memiliki pengaruh dan wibawa yang sangat kuat dalam tubuh militer. Erdogan juga mampu meyakinkan rakyat akan jalan demokrasi sebagai jalan menuju kesejahteraan yang paling ideal bagi Turki. Jalan demokrasi berarti kita siap membangun kerjasama dengan seluruh pihak dari bebagai lapisan. Singkatnya, Erdogan telah mempu melakukan konsolidasi politik elit dan konsolidasi sosial.
Hal itu ia buktikan baik di internal AKP secara keanggotaan maupun di antara rakyat. AKP seperti menjadi etalase dan gambaran keragaman wajah rakyat Turki yang indah. Pendukung AKP juga seperti itu perwajahannya. Sementara, secara personaliti, Erdogan mencerminkan sosok pemimpin atau politisi yang mampu membuat kelas menengah dan rakyat biasa bersimpati kepadanya dan mau bekerjasama atau mengikuti kata-katanya. Erdogan memiliki kombinasi gagasan yang menjadi faktor kohesi sekaligus kepribadian yang menyenangkan.
Tapi PKS lewat wajah-wajah kadernya di media sosial justru tidak mencerminkan itu semua. Jangankan itu, keanggotaan PKS juga sangat terbatasi karena disamping hanya menarik minat kelompok sosial tertentu yang sangat terbatas, PKS juga tidak membuka diri pada masyarakat kebanyakan.
Demikian gambaran soal Erdogan, AKP, dan PKS. Semoga sebagian kader PKS segera sadar bahwa mereka sedang terbuai oleh obsesi khayali yang ingin seperti AKP tapi ‘sangat njomplang’ antara mimpinya dengan apa yang terjadi dengan partainya sekarang ini. Mari segera kita perbaiki.
Sumber : Alumnikammi.org