Karena Ukuran Kita Tak Sama
“Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya memaksakan
tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti memaksakan sepatu besar untuk
tapal kecil merepotkan kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi”.
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah
padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara,
ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu
masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan
dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah
dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang
beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan
buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul
Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al
Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari
pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah
kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa
angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut
Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!”
’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah
dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh
pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya
Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai
‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara.
‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya &
bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang
bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka
berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di
tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum
mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan
tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya,
datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman
sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan
mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan
kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi
perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh
sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah
& dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha
keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup
sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar
Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku
menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan
tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang
tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang
harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau
baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya.
Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam
angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada
saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan
cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara
yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara
menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang
dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar
menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi
orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh
lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan
begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata
lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa
di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil
tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini,
rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi
Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain
berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash
melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya
jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah
diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak
perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga
menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah
kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati
memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan
masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi
akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang
masa.
Selanjutnya, kita harus belajar
untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang
absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi tak lagi
terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan
“khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya
lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu
tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan
indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung
kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung
kebenaran.”
sepenuh cinta,